Membaca aktikel, yang ditulis oleh mbak Wulan Ummu Kayyisah ini jadi terinspirasi memiliki keluarga kecil yang dipenuhi cinta kepada Allah.aminnn #eaaaaaaaaaaa
langsung cekidot ajahhh ya... halah
Alhamdulillah, dua tahun sudah Allah menakdirkan kami bersama mengarungi perjuangan. Saat memulai bahtera ini kami benar-benar memulainya dari bawah, bahkan kami tak memiliki apapun saat itu. Hanya keyakinan kepada Allah bahwa Dia akan senantiasa mencukupkan rizki kami, insya Allah.
Alhamdulillah,
dua tahun sudah Allah menakdirkan kami bersama mengarungi perjuangan.
Saat memulai bahtera ini kami benar-benar memulainya dari bawah, bahkan
kami tak memiliki apapun saat itu. Hanya keyakinan kepada Allah bahwa
Dia akan senantiasa mencukupkan rizki kami, insya Allah.
”Barang
siapa yang bertaqwa kepada Allah maka Allah jadikan baginya jalan
keluar (dari setiap permasalahannya).Dan Dia (Allah) akan memberi rizki
dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan barang siapa yang bertawakal
kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya”. (QS. At-
Tholaq: 2 -3)
Sekarang, ia tengah berlelah-lelah dan berpeluh
keringat untuk membangun mimpinya. “Mas ingin Adik bisa hidup nyaman
dan berkecukupan”, itu yang sering diucapkannya. Semoga kedua tangan
yang tiap hari dia gunakan untuk berjuang menafkahi kami, termasuk ke
dalam tangan-tangan yang takkan pernah tersentuh api neraka. Seperti
halnya tangan sahabat nabi Sa’ad bin Mu’adz Al-Anshari, di mana suatu
hari Rasulullah SAW berjumpa dengannya. Ketika itu Rasul melihat tangan
Sa’ad melepuh, kulitnya gosong kehitam-hitaman seperti terpanggang
matahari. “Kenapa tanganmu?” tanya Rasul kepada Sa’ad. “Wahai
Rasullullah,” jawab Sa’ad, “Tanganku seperti ini karena aku mengolah
tanah dengan cangkul itu untuk mencari nafkah keluarga yang menjadi
tanggunganku”. Seketika itu beliau mengambil tangan Sa’ad dan menciumnya
seraya berkata, “Inilah tangan yang tidak akan pernah tersentuh api
Neraka.”
Setiap kali aku marah, maka dengan sabar dia akan
memegang ubun-ubunku, dan mengucapkan doa yang sama ketika dulu pertama
kali kami shalat bersama, “
Allahumma inni asaluka khairaha wa khaira ma jabaltaha ‘alaihi wa a’udzu bika min syarriha wa min syarri ma jabaltaha ‘alaihi.
Ya Allah, aku memohon kebaikannya dan kebaikan tabiat yang ia bawa. Dan
aku berlindung dari kejelekannya dan kejelekan tabiat yang ia bawa.”
Lalu,
ketika seringkali aku bertanya, “Apakah benar Mas mencintai saya?” “Apa
bukti Mas mencintai saya?” Maka dia akan berkata, “Dik, ingatkah ketika
suatu hari Umar bin Khattab berkata kepada Rasulullah SAW, ‘Aku
mencintaimu lebih dari segalanya, kecuali jiwaku sendiri’. Saat itu
Rasulullah menjawab, ‘Tidak seorang pun di antara kamu yang beriman,
sehingga aku lebih dicintainya daripada jiwanya sendiri’. Umar segera
menjawab, ‘Demi Dzat yang menurunkan kitab suci Al-Quran ini kepadamu,
aku mencintaimu melebihi cintaku kepada diriku sendiri’. Begitu mudahnya
bagi Umar untuk mengubah cintanya, karena sesungguhnya cintanya kepada
Rasulullah bukan sebatas kata-kata melainkan berupa ketaatan dan
kerelaan untuk berkorban. Begitu pun dengan mas. Mas mencintai Adik,
maka mas akan selalu berusaha memberi yang terbaik untuk Adik.” Ya,
sekarang aku pun mengerti. Cinta memang tak selalu berwujud kata-kata
romantis, bisikan mesra atau tatapan sayang seperti yang sering
digembar-gemborkan drama-drama picisan. Cinta lebih merupakan perjuangan
yang tak jarang berlumur peluh dan air mata.
Masih pula kuingat
ketika dulu dia bertanya, “Mau menjadi muslimah seperti apa Adik ini?”
“KHADIJAH istri yang lemah lembut, senantiasa mendukung dan menyertai
suaminya dalam perjuangan. AISYAH istri yang pandai menyenangkan hati,
ceria, cerdas. UMMU SALAMAH istri yang bijaksana. ZAINAB istri yang
sangat dermawan”. Maka saat itu aku belum bisa menjawabnya, dan begitu
pun sekarang. Ah, rasanya malu sekali, aku tak mungkin menjadi seperti
wanita-wanita mulia itu. Aku hanya sedang berusaha menjadi sebaik-baik
istri baginya, sehingga setiap hari sebelum memejamkan mata, dia selalu
dalam keadaan ridha kepadaku.
Suatu hari Rasulullah SAW
berkata kepada para sahabatnya, “Maukah kalian aku beri tahu tentang
istri-istri kalian di dalam surga?” Mereka menjawab, “Tentu saja wahai
Rasulullah” Nabi SAW menjawab,” Wanita yang penyayang lagi subur.
Apabila ia marah, atau diperlakukan buruk atau suaminya marah kepadanya,
ia berkata, ‘Ini tanganku di atas tanganmu, mataku tidak akan bisa
terpejam hingga engkau ridha.” (HR. Ath-Thabrani)
“Jika
seorang wanita selalu menjaga shalat lima waktu, juga berpuasa sebulan
(di bulan Ramadhan), serta betul-betul menjaga kemaluannya (dari
perbuatan zina), dan benar-benar taat kepada suaminya, maka dikatakan
pada wanita yang memiliki sifat mulia ini, ‘Masuklah ke dalam surga
melalui pintu mana saja yang engkau suka.” (HR. Ahmad)
—
Suamiku…
Ini bukan ikrar biasa
Ini mitsaqon golidzo
Yang ketika kau ucap ikrar itu
Maka ‘Arsy pun ikut bergetar karenanya
Suamiku…
Ini bukan bangunan biasa
Ini adalah bangunan peradaban
yang kan kita susun batu batanya
Bersama Alfatih Alfatih kita
Suamiku…
Ini bukan keluarga biasa
Ingatkah ketika kau katakan akan mewakafkan dirimu dan diri kami?
Maka keluarga ini adalah keluarga dakwah
Keluarga jihad
Suamiku…
Maukah kau kita berkumpul lagi di Surga-Nya?
Maka, jangan pernah berhenti mendidik kami
Seperti Imran dan Luqman mendidik keluarganya
Sumber:
http://www.dakwatuna.com/2012/11/23966/surat-cinta-untuk-suamiku/#ixzz2DTroXAon Alhamdulillah, dua tahun sudah Allah menakdirkan kami bersama mengarungi perjuangan. Saat memulai bahtera ini kami benar-benar memulainya dari bawah, bahkan kami tak memiliki apapun saat itu. Hanya keyakinan kepada Allah bahwa Dia akan senantiasa mencukupkan rizki kami, insya Allah.
”Barang siapa yang bertaqwa kepada Allah maka Allah jadikan baginya jalan keluar (dari setiap permasalahannya).Dan Dia (Allah) akan memberi rizki dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya”. (QS. At- Tholaq: 2 -3)
Sekarang, ia tengah berlelah-lelah dan berpeluh keringat untuk membangun mimpinya. “Mas ingin Adik bisa hidup nyaman dan berkecukupan”, itu yang sering diucapkannya. Semoga kedua tangan yang tiap hari dia gunakan untuk berjuang menafkahi kami, termasuk ke dalam tangan-tangan yang takkan pernah tersentuh api neraka. Seperti halnya tangan sahabat nabi Sa’ad bin Mu’adz Al-Anshari, di mana suatu hari Rasulullah SAW berjumpa dengannya. Ketika itu Rasul melihat tangan Sa’ad melepuh, kulitnya gosong kehitam-hitaman seperti terpanggang matahari. “Kenapa tanganmu?” tanya Rasul kepada Sa’ad. “Wahai Rasullullah,” jawab Sa’ad, “Tanganku seperti ini karena aku mengolah tanah dengan cangkul itu untuk mencari nafkah keluarga yang menjadi tanggunganku”. Seketika itu beliau mengambil tangan Sa’ad dan menciumnya seraya berkata, “Inilah tangan yang tidak akan pernah tersentuh api Neraka.”
Setiap kali aku marah, maka dengan sabar dia akan memegang ubun-ubunku, dan mengucapkan doa yang sama ketika dulu pertama kali kami shalat bersama, “Allahumma inni asaluka khairaha wa khaira ma jabaltaha ‘alaihi wa a’udzu bika min syarriha wa min syarri ma jabaltaha ‘alaihi. Ya Allah, aku memohon kebaikannya dan kebaikan tabiat yang ia bawa. Dan aku berlindung dari kejelekannya dan kejelekan tabiat yang ia bawa.”
Lalu, ketika seringkali aku bertanya, “Apakah benar Mas mencintai saya?” “Apa bukti Mas mencintai saya?” Maka dia akan berkata, “Dik, ingatkah ketika suatu hari Umar bin Khattab berkata kepada Rasulullah SAW, ‘Aku mencintaimu lebih dari segalanya, kecuali jiwaku sendiri’. Saat itu Rasulullah menjawab, ‘Tidak seorang pun di antara kamu yang beriman, sehingga aku lebih dicintainya daripada jiwanya sendiri’. Umar segera menjawab, ‘Demi Dzat yang menurunkan kitab suci Al-Quran ini kepadamu, aku mencintaimu melebihi cintaku kepada diriku sendiri’. Begitu mudahnya bagi Umar untuk mengubah cintanya, karena sesungguhnya cintanya kepada Rasulullah bukan sebatas kata-kata melainkan berupa ketaatan dan kerelaan untuk berkorban. Begitu pun dengan mas. Mas mencintai Adik, maka mas akan selalu berusaha memberi yang terbaik untuk Adik.” Ya, sekarang aku pun mengerti. Cinta memang tak selalu berwujud kata-kata romantis, bisikan mesra atau tatapan sayang seperti yang sering digembar-gemborkan drama-drama picisan. Cinta lebih merupakan perjuangan yang tak jarang berlumur peluh dan air mata.
Masih pula kuingat ketika dulu dia bertanya, “Mau menjadi muslimah seperti apa Adik ini?” “KHADIJAH istri yang lemah lembut, senantiasa mendukung dan menyertai suaminya dalam perjuangan. AISYAH istri yang pandai menyenangkan hati, ceria, cerdas. UMMU SALAMAH istri yang bijaksana. ZAINAB istri yang sangat dermawan”. Maka saat itu aku belum bisa menjawabnya, dan begitu pun sekarang. Ah, rasanya malu sekali, aku tak mungkin menjadi seperti wanita-wanita mulia itu. Aku hanya sedang berusaha menjadi sebaik-baik istri baginya, sehingga setiap hari sebelum memejamkan mata, dia selalu dalam keadaan ridha kepadaku.
Suatu hari Rasulullah SAW berkata kepada para sahabatnya, “Maukah kalian aku beri tahu tentang istri-istri kalian di dalam surga?” Mereka menjawab, “Tentu saja wahai Rasulullah” Nabi SAW menjawab,” Wanita yang penyayang lagi subur. Apabila ia marah, atau diperlakukan buruk atau suaminya marah kepadanya, ia berkata, ‘Ini tanganku di atas tanganmu, mataku tidak akan bisa terpejam hingga engkau ridha.” (HR. Ath-Thabrani)
“Jika seorang wanita selalu menjaga shalat lima waktu, juga berpuasa sebulan (di bulan Ramadhan), serta betul-betul menjaga kemaluannya (dari perbuatan zina), dan benar-benar taat kepada suaminya, maka dikatakan pada wanita yang memiliki sifat mulia ini, ‘Masuklah ke dalam surga melalui pintu mana saja yang engkau suka.” (HR. Ahmad)
—
Suamiku…
Ini bukan ikrar biasa
Ini mitsaqon golidzo
Yang ketika kau ucap ikrar itu
Maka ‘Arsy pun ikut bergetar karenanya
Suamiku…
Ini bukan bangunan biasa
Ini adalah bangunan peradaban
yang kan kita susun batu batanya
Bersama Alfatih Alfatih kita
Suamiku…
Ini bukan keluarga biasa
Ingatkah ketika kau katakan akan mewakafkan dirimu dan diri kami?
Maka keluarga ini adalah keluarga dakwah
Keluarga jihad
Suamiku…
Maukah kau kita berkumpul lagi di Surga-Nya?
Maka, jangan pernah berhenti mendidik kami
Seperti Imran dan Luqman mendidik keluarganya
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/11/23966/surat-cinta-untuk-suamiku/#ixzz2DTroXAon
Alhamdulillah,
dua tahun sudah Allah menakdirkan kami bersama mengarungi perjuangan.
Saat memulai bahtera ini kami benar-benar memulainya dari bawah, bahkan
kami tak memiliki apapun saat itu. Hanya keyakinan kepada Allah bahwa
Dia akan senantiasa mencukupkan rizki kami, insya Allah.
”Barang
siapa yang bertaqwa kepada Allah maka Allah jadikan baginya jalan
keluar (dari setiap permasalahannya).Dan Dia (Allah) akan memberi rizki
dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan barang siapa yang bertawakal
kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya”. (QS. At-
Tholaq: 2 -3)
Sekarang, ia tengah berlelah-lelah dan berpeluh
keringat untuk membangun mimpinya. “Mas ingin Adik bisa hidup nyaman
dan berkecukupan”, itu yang sering diucapkannya. Semoga kedua tangan
yang tiap hari dia gunakan untuk berjuang menafkahi kami, termasuk ke
dalam tangan-tangan yang takkan pernah tersentuh api neraka. Seperti
halnya tangan sahabat nabi Sa’ad bin Mu’adz Al-Anshari, di mana suatu
hari Rasulullah SAW berjumpa dengannya. Ketika itu Rasul melihat tangan
Sa’ad melepuh, kulitnya gosong kehitam-hitaman seperti terpanggang
matahari. “Kenapa tanganmu?” tanya Rasul kepada Sa’ad. “Wahai
Rasullullah,” jawab Sa’ad, “Tanganku seperti ini karena aku mengolah
tanah dengan cangkul itu untuk mencari nafkah keluarga yang menjadi
tanggunganku”. Seketika itu beliau mengambil tangan Sa’ad dan menciumnya
seraya berkata, “Inilah tangan yang tidak akan pernah tersentuh api
Neraka.”
Setiap kali aku marah, maka dengan sabar dia akan
memegang ubun-ubunku, dan mengucapkan doa yang sama ketika dulu pertama
kali kami shalat bersama, “
Allahumma inni asaluka khairaha wa khaira ma jabaltaha ‘alaihi wa a’udzu bika min syarriha wa min syarri ma jabaltaha ‘alaihi.
Ya Allah, aku memohon kebaikannya dan kebaikan tabiat yang ia bawa. Dan
aku berlindung dari kejelekannya dan kejelekan tabiat yang ia bawa.”
Lalu,
ketika seringkali aku bertanya, “Apakah benar Mas mencintai saya?” “Apa
bukti Mas mencintai saya?” Maka dia akan berkata, “Dik, ingatkah ketika
suatu hari Umar bin Khattab berkata kepada Rasulullah SAW, ‘Aku
mencintaimu lebih dari segalanya, kecuali jiwaku sendiri’. Saat itu
Rasulullah menjawab, ‘Tidak seorang pun di antara kamu yang beriman,
sehingga aku lebih dicintainya daripada jiwanya sendiri’. Umar segera
menjawab, ‘Demi Dzat yang menurunkan kitab suci Al-Quran ini kepadamu,
aku mencintaimu melebihi cintaku kepada diriku sendiri’. Begitu mudahnya
bagi Umar untuk mengubah cintanya, karena sesungguhnya cintanya kepada
Rasulullah bukan sebatas kata-kata melainkan berupa ketaatan dan
kerelaan untuk berkorban. Begitu pun dengan mas. Mas mencintai Adik,
maka mas akan selalu berusaha memberi yang terbaik untuk Adik.” Ya,
sekarang aku pun mengerti. Cinta memang tak selalu berwujud kata-kata
romantis, bisikan mesra atau tatapan sayang seperti yang sering
digembar-gemborkan drama-drama picisan. Cinta lebih merupakan perjuangan
yang tak jarang berlumur peluh dan air mata.
Masih pula kuingat
ketika dulu dia bertanya, “Mau menjadi muslimah seperti apa Adik ini?”
“KHADIJAH istri yang lemah lembut, senantiasa mendukung dan menyertai
suaminya dalam perjuangan. AISYAH istri yang pandai menyenangkan hati,
ceria, cerdas. UMMU SALAMAH istri yang bijaksana. ZAINAB istri yang
sangat dermawan”. Maka saat itu aku belum bisa menjawabnya, dan begitu
pun sekarang. Ah, rasanya malu sekali, aku tak mungkin menjadi seperti
wanita-wanita mulia itu. Aku hanya sedang berusaha menjadi sebaik-baik
istri baginya, sehingga setiap hari sebelum memejamkan mata, dia selalu
dalam keadaan ridha kepadaku.
Suatu hari Rasulullah SAW
berkata kepada para sahabatnya, “Maukah kalian aku beri tahu tentang
istri-istri kalian di dalam surga?” Mereka menjawab, “Tentu saja wahai
Rasulullah” Nabi SAW menjawab,” Wanita yang penyayang lagi subur.
Apabila ia marah, atau diperlakukan buruk atau suaminya marah kepadanya,
ia berkata, ‘Ini tanganku di atas tanganmu, mataku tidak akan bisa
terpejam hingga engkau ridha.” (HR. Ath-Thabrani)
“Jika
seorang wanita selalu menjaga shalat lima waktu, juga berpuasa sebulan
(di bulan Ramadhan), serta betul-betul menjaga kemaluannya (dari
perbuatan zina), dan benar-benar taat kepada suaminya, maka dikatakan
pada wanita yang memiliki sifat mulia ini, ‘Masuklah ke dalam surga
melalui pintu mana saja yang engkau suka.” (HR. Ahmad)
—
Suamiku…
Ini bukan ikrar biasa
Ini mitsaqon golidzo
Yang ketika kau ucap ikrar itu
Maka ‘Arsy pun ikut bergetar karenanya
Suamiku…
Ini bukan bangunan biasa
Ini adalah bangunan peradaban
yang kan kita susun batu batanya
Bersama Alfatih Alfatih kita
Suamiku…
Ini bukan keluarga biasa
Ingatkah ketika kau katakan akan mewakafkan dirimu dan diri kami?
Maka keluarga ini adalah keluarga dakwah
Keluarga jihad
Suamiku…
Maukah kau kita berkumpul lagi di Surga-Nya?
Maka, jangan pernah berhenti mendidik kami
Seperti Imran dan Luqman mendidik keluarganya
Sumber:
http://www.dakwatuna.com/2012/11/23966/surat-cinta-untuk-suamiku/#ixzz2DTroXAonkikkjkklklk
Alhamdulillah,
dua tahun sudah Allah menakdirkan kami bersama mengarungi perjuangan.
Saat memulai bahtera ini kami benar-benar memulainya dari bawah, bahkan
kami tak memiliki apapun saat itu. Hanya keyakinan kepada Allah bahwa
Dia akan senantiasa mencukupkan rizki kami, insya Allah.
”Barang
siapa yang bertaqwa kepada Allah maka Allah jadikan baginya jalan
keluar (dari setiap permasalahannya).Dan Dia (Allah) akan memberi rizki
dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan barang siapa yang bertawakal
kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya”. (QS. At-
Tholaq: 2 -3)
Sekarang, ia tengah berlelah-lelah dan berpeluh
keringat untuk membangun mimpinya. “Mas ingin Adik bisa hidup nyaman
dan berkecukupan”, itu yang sering diucapkannya. Semoga kedua tangan
yang tiap hari dia gunakan untuk berjuang menafkahi kami, termasuk ke
dalam tangan-tangan yang takkan pernah tersentuh api neraka. Seperti
halnya tangan sahabat nabi Sa’ad bin Mu’adz Al-Anshari, di mana suatu
hari Rasulullah SAW berjumpa dengannya. Ketika itu Rasul melihat tangan
Sa’ad melepuh, kulitnya gosong kehitam-hitaman seperti terpanggang
matahari. “Kenapa tanganmu?” tanya Rasul kepada Sa’ad. “Wahai
Rasullullah,” jawab Sa’ad, “Tanganku seperti ini karena aku mengolah
tanah dengan cangkul itu untuk mencari nafkah keluarga yang menjadi
tanggunganku”. Seketika itu beliau mengambil tangan Sa’ad dan menciumnya
seraya berkata, “Inilah tangan yang tidak akan pernah tersentuh api
Neraka.”
Setiap kali aku marah, maka dengan sabar dia akan
memegang ubun-ubunku, dan mengucapkan doa yang sama ketika dulu pertama
kali kami shalat bersama, “
Allahumma inni asaluka khairaha wa khaira ma jabaltaha ‘alaihi wa a’udzu bika min syarriha wa min syarri ma jabaltaha ‘alaihi.
Ya Allah, aku memohon kebaikannya dan kebaikan tabiat yang ia bawa. Dan
aku berlindung dari kejelekannya dan kejelekan tabiat yang ia bawa.”
Lalu,
ketika seringkali aku bertanya, “Apakah benar Mas mencintai saya?” “Apa
bukti Mas mencintai saya?” Maka dia akan berkata, “Dik, ingatkah ketika
suatu hari Umar bin Khattab berkata kepada Rasulullah SAW, ‘Aku
mencintaimu lebih dari segalanya, kecuali jiwaku sendiri’. Saat itu
Rasulullah menjawab, ‘Tidak seorang pun di antara kamu yang beriman,
sehingga aku lebih dicintainya daripada jiwanya sendiri’. Umar segera
menjawab, ‘Demi Dzat yang menurunkan kitab suci Al-Quran ini kepadamu,
aku mencintaimu melebihi cintaku kepada diriku sendiri’. Begitu mudahnya
bagi Umar untuk mengubah cintanya, karena sesungguhnya cintanya kepada
Rasulullah bukan sebatas kata-kata melainkan berupa ketaatan dan
kerelaan untuk berkorban. Begitu pun dengan mas. Mas mencintai Adik,
maka mas akan selalu berusaha memberi yang terbaik untuk Adik.” Ya,
sekarang aku pun mengerti. Cinta memang tak selalu berwujud kata-kata
romantis, bisikan mesra atau tatapan sayang seperti yang sering
digembar-gemborkan drama-drama picisan. Cinta lebih merupakan perjuangan
yang tak jarang berlumur peluh dan air mata.
Masih pula kuingat
ketika dulu dia bertanya, “Mau menjadi muslimah seperti apa Adik ini?”
“KHADIJAH istri yang lemah lembut, senantiasa mendukung dan menyertai
suaminya dalam perjuangan. AISYAH istri yang pandai menyenangkan hati,
ceria, cerdas. UMMU SALAMAH istri yang bijaksana. ZAINAB istri yang
sangat dermawan”. Maka saat itu aku belum bisa menjawabnya, dan begitu
pun sekarang. Ah, rasanya malu sekali, aku tak mungkin menjadi seperti
wanita-wanita mulia itu. Aku hanya sedang berusaha menjadi sebaik-baik
istri baginya, sehingga setiap hari sebelum memejamkan mata, dia selalu
dalam keadaan ridha kepadaku.
Suatu hari Rasulullah SAW
berkata kepada para sahabatnya, “Maukah kalian aku beri tahu tentang
istri-istri kalian di dalam surga?” Mereka menjawab, “Tentu saja wahai
Rasulullah” Nabi SAW menjawab,” Wanita yang penyayang lagi subur.
Apabila ia marah, atau diperlakukan buruk atau suaminya marah kepadanya,
ia berkata, ‘Ini tanganku di atas tanganmu, mataku tidak akan bisa
terpejam hingga engkau ridha.” (HR. Ath-Thabrani)
“Jika
seorang wanita selalu menjaga shalat lima waktu, juga berpuasa sebulan
(di bulan Ramadhan), serta betul-betul menjaga kemaluannya (dari
perbuatan zina), dan benar-benar taat kepada suaminya, maka dikatakan
pada wanita yang memiliki sifat mulia ini, ‘Masuklah ke dalam surga
melalui pintu mana saja yang engkau suka.” (HR. Ahmad)
—
Suamiku…
Ini bukan ikrar biasa
Ini mitsaqon golidzo
Yang ketika kau ucap ikrar itu
Maka ‘Arsy pun ikut bergetar karenanya
Suamiku…
Ini bukan bangunan biasa
Ini adalah bangunan peradaban
yang kan kita susun batu batanya
Bersama Alfatih Alfatih kita
Suamiku…
Ini bukan keluarga biasa
Ingatkah ketika kau katakan akan mewakafkan dirimu dan diri kami?
Maka keluarga ini adalah keluarga dakwah
Keluarga jihad
Suamiku…
Maukah kau kita berkumpul lagi di Surga-Nya?
Maka, jangan pernah berhenti mendidik kami
Seperti Imran dan Luqman mendidik keluarganya
Sumber:
http://www.dakwatuna.com/2012/11/23966/surat-cinta-untuk-suamiku/#ixzz2DTrJPhpA
Komentar
Posting Komentar